Selasa, 19 April 2016

Cerpen: Ujung Hutan


Wira tak mampu menutupi rasa malunya. Hanya duduk menunduk di tengah balai sidang. Dadanya disesaki oleh sesal. Ia merasa semua mata mentap dengan benci, kecuali, mungkin, kedua orang tuanya.
Hampir semua warga desa hadir dalam sidang. Para tetua, pemuda, sampai anak-anak. Mereka yang tak kebagian duduk di kursi kayu, duduk di anak tangga, di setiap sisi balai yang bertatap, berubin, namun tak berdinding itu.  Dalam sidang ini, bahkan anak-anak tak ada yang berani bercanda. Semua orang menutup mulut, kecuali mereka yang berhak bersuara.
“Wira melakukan dosa besar! Ia telah mencuri!” kata Abah Una sambil menujuk Wira. Sorot matanya tajam wujud ketegasan.
Ayah Wira menggeleng. “Anakku bukan mencuri, Abah Una! Dia hanya membawa apa yang tertinggal dari  mahasiswa yang melintasi desa.”
“Membawa masuk barang milik orang lain saja sudah sebuah kesalahan, Kuswan!” ujar Abah Una. “Bisa saja itu adalah barang yang berbahaya!”
Suasana jadi besik karena warga saling bisik. Mereka menyadari bahaya besar akibat perbuatan Wira. Sudah banyak mahasiswa atau polisi hutan melintas desa selama ini. Tak ada satu pun yang berulah. Perbuaatan Wira bisa mengubah segalanya.
Berisiknya warga membuat wajah Wira semakin merah. Ia tak mampu melihat wajah orang-orang, terlebih lagi orang tuanya. Ia yakin ibunya sedang menahan tangis, atau bakan amarah.
Ki Agum tiba-tiba berkata dengan wibawa. “Coba tunjukan benda yang dibawa Wira.” pintanya dengan sopan. Salah seorang pemuda bangun, memberikan benda itu pada Ki Agum. Semua mata ikut melihat. Benda itu kotak, biru, cukup kecil untuk bisa digenggam, dan tesambung dengan rantai kecil yang menggantung.
“Ada yang tahu nama dan guna benda ini?” tanya Ki Agum sambil melihat sekeliling. Tak ada yang menjawab, hanya menggeleng.  
“Jika kita tidak tahu guna benda itu, bagaimana kita menganggapnya berbahaya?”, ujar Kang Kuswan, membela anaknya.
“Justru, karena kita tidak tahu, bagaimana kita menganggapnya tidak berbahaya?” balas Abah Una dengan sinis. Wira bisa melihat dengan lirikan, banyak orang mengangguk, lebih percaya pada perkataan Abah Una ketimbang ayahnya.
“Kita tidak mungkin menganggap tindakan Wira bukan kesalahan, karena tak ada benda asing yang boleh masuk ke desa kita.” kata Ki Agum.  “Kita hanya bisa memutuskan kadar kesalahannya.”. Keringat Wira mulai keluar dari samping kepalanya, membayangkan dirinya sampai menjalani hukuman berat. Kesalahan besar berarti hukuman berat.
“Malam ini juga, hukuman akan diputuskan oleh para sesepuh.”, tambah Ki Agum. Kedua tangannya memberi isyarat agar para sesepuh lain mendekat padanya. Sepuluh  sesepuh lain, termasuk Kang Kuswan dan  Abah Una menuruti isyarat Ki Agum. Mereka setengah berbisik memberi suara. Semua warga desa berusaha mencuri dengar.
Ki Agum melangkah lebih depan dari sesepuh lain. “Ringan.” ucapnya tegas. “Wira kami jatuhi hukuman mengurus kebun desa selama satu bulan. Semoga Wira tidak meremehkan kesalahannya. Dan ini menjadi pelajaran bagi warga yang lain.”
Ucapan itu membuat para sesepuh membubarkan diri dalam iringan keriuhan suara warga. Beberapa warga mengangguk, beberapa menggeleng, setelah mendengar keputusan itu. Abah Una melangkah dengan cepat dengan raut kecewa.
Kang Kuswan dan Nyai Diah mendekati anaknya yang masih menunduk. Wira tak bisa menahan diri untuk tidak memeluk ayahnya sebagai ganti terima kasih.
“Berjanjilah kamu tak akan melakukan itu lagi.” sambung Kang Kuswan, sangat dekat  dengan telinga anaknya. “Aku berjanji, ayah!” ucap Wira tegas. Ia sangat tahu, tak boleh ada lagi penasaran terhadap benda asing milik orang lain dari luar desa.
Malam itu adalah tidur nyanyak pertama Wira sejak seorang anak memergokinya membawa benda kotak berwarna biru. Benda yang hampir saja membuatnya dalam bahaya besar.
Tiga hari sudah Wira melaksanakan hukuman. Seorang diri menggarap kebun desa. Hukuman yang membuat warga lainnya punya waktu berlibur bersama keluarga. Meski sendiri, semua terasa ringan jika ia membayangkan hukuman berat yang hampir menimpanya.
Wira tak lagi sendiri. Seseorang datang dari balik pepohonan. “WIRA!”, teriak sesorang lelaki dari kejauhan, membuat burung-burung di pepohonan beterbangan. Wira mendekat, tahu bahwa itu adalah Surya, teman sebayanya.
“Ada apa?” tanya Wira penasaran. Surya tak langsung menjawab. Ia memberi tatapan sinyal keprihatinan. “Ada apa?” ulang Wira lebih keras.
“Kamu ditunggu di balai warga.”, jawab Surya.
“Memang ada apa?”
Surya hanya menggeleng meski tahu. Dan ia tetap tak mau menjawab sepajang perjalanan. Wira malah mendapati kerumunan orang di sekitar balai sidang. Ia tak mampu menebak apa yang akan menimpa meski telah sampai ke desa. Wira masuk ke balai sidang, melewati orang-orang yang menatap sinis.
Balai sidang lebih ramai dari sidang lalu. Wira melihat mata ibunya yang sembab dan basah. Ayahnya bahkan tidak mau melihat ia melintas. Abah Una membalik tubuhnya ketika tahu Wira sudah tiba. Ia menatap Wira tanpa belas kasih.
“Aku sudah tahu benda yang kau bawa ini!” Abah Una setengah berteriak. “Biar pamong praja perbatasan ini yang mengatakan!” sambil menunjuk pada orang yang berdiri di samping Abah Una. Orang itu melihat sekeliling sebelum bicara, memastikan semua orang siap mendengarnya.
“Aku membawa benda itu ke perbatasan.” ucapnya lantang. “Aku menyamar agar bisa bertanya pada Polisi Hutan.”. Ucapan yang membuat warga desa berdesas-desus seketika.
“Polisi Hutan mengatakan bahwa benda itu bernama Ji Pi Es.” Sambung Si Pamong Praja. “Benda yang berguna sebagai peta. Benda yang bisa diketahui keberadaannya dari jarak yang sangat jauh.”
Bisik-bisik warga menjadi riuh seketika. Wira tiba-tiba merasa mual. Ia merasa badannya seperti mengkerut sekaligus lemas. Para sesepuh saling bicara, dan sesekali melihat ke arahnya. Ayahnya hanya diam seribu bahasa.
“Mohon tenang!” Ki Agum menghentikan keriuhan warga. Suara paling tinggi dari Ki Agum yang pernah Wira dengar selama ini. Ia tahu bahwa ada kemarahan dalam suaranya.
“Kami memutuskan untuk mengubah hukuman bagi Wira.”, katanya dengan tegas. “Ini akan menjadi pelajaran bagi semua warga.”
Suasana semakin riuh. Ki Agum memberi isyarat tangan agar semua berhenti bicara.
“Hukuman berat akan dijatuhkan.” ujar Ki Agum sambil memandang Wira. Pandangannya seperti meminta pemakluman akan ketegasan yang harus ia lakukan. Tangan Ki Agum menjulur dengan isyarat menunjuk ke arah luar balai warga, lalu berkata “Wira Diasingkan selama satu bulan!”
Meski Wira tahu itu akan terucap, tetap saja membuatnya sesak. Wira tahu bahwa diasingkan berarti keluar dari desa, segera setelah Ki Agum memberi isyarat pengusiran dengan telunjuknya.
“Pamong Praja akan mengantar sampai perbatasan, untuk memastikan kamu menjalankan hukuman dengan benar.” kata Ki Agum sambil melangkah keluar balai sidang. Itu sekaligus isyarat agar Wira segera melangkah meninggalkan balai, juga desa.
Wira tahu langkah para sesepuh dan warga menggiring langkahnya. Ia bisa mendengar beberapa ibu yang mengelus-elus anaknya sambil menasihati agar tidak bernasib sama dengan dirinya.
“Aku akan ikut mengantarmu sampai ujung hutan, Wira.”, ujar Surya yang mengikuti. Wira senang mengetahui Surya mau melakukan itu, meski ia berharap ayahnya yang akan mengantar ke perbatasan.
“Apa kamu yakin?”, tanya Wira menoleh ke belakang tanpa berhenti. “Ujung hutan itu sangat jauh.”
“Ya, aku yakin.”, jawab Surya. “Lagi pula, sudah lama aku tak ke sana.”
Wira tersenyum secukupnya. Kebaikan Surya cukup menghibur.  Wira, Surya, dan Si Pamong Praja terus berjalan hingga melewati rumah terakhir. Mereka mulai menapak di jalan setapak.
“Wira!”, panggil ayahnya dari belakang punggung. “Ayah akan ikut mengantarmu.”, kata ayahnya, menyusul Pamong Praja dan Surya, menyamai kecepatan Wira. “Makanlah ini, Nak!”. Ayahnya memberi nasi lalap yang dibungkus daun pisang. “Aku tak mau makan sendirian.”, kata Wira, menahan diri, meski ia sempat melirik bungkusan itu.
“Makanlah dulu, Nak!”, Si Pamong Praja memberi saran. Surya mengangguk memberi dukungan. Kang Kuswan kembali menyodorkan. “Kami akan kembali ke desa setelah ini. Sedangkan kau mungkin harus berburu, memakan daging mentah di luar sana.”, Kang Kuswan memberi pengertian. “Kamu akan sangat membutuhkan tenaga.”
Wira kembali melirik bungkusan lalu berhenti. Ia menerima makanan itu dari ayahnya. Wira menduduki tonjolan akar pohon pada pinggiran jalan setapak untuk makan. Itu adalah makan siang terlambatnya, dan mungkin sekaligus makan malam. Wira memakan semua dengan lahap.
“Ingatlah nak, kemungkinan besar kamu akan bertemu dengan polisi hutan.” Ucap Kang Kuswa. “Mereka tidak akan melukaimu, karena mereka bertugas melindungi desa kita, meski secara tak langsung.”
Wira mengangguk-ngangguk sambil terus mengunyah. “Aku akan baik-baik saja, ayah.” tanggap Wira, lebih kepada usaha membuat ayahnya tidak khawatir. Ia tak ingin membebani lebih banyak lagi, meski tahu akan berada dalam bahaya.
Wira sudah membersihkan tangannya dari semua nasi yang menempel di jari tangan kanan. Keempatnya kembali berjalan. Tak ada lagi perhentian. Jalan setapak mulai menurun. Ujung hutan sudah terlihat.
Si Pamong Praja paling dulu mengehentikan langkahnya. Ia tidak mau lebih dekat lagi dengan perbatasan, namun terus mengikuti Wira dengan matanya.
“Jangan mudah marah jika melihat orang menebang pohon.”, kata Si Pamong Praja dari balik punggung Wira. “Mereka yang dari Perhutani, juga para polisi hutan, sudah punya perhitungan yang matang dalam menebang, agar hutan tetap lestari.”
Wira mengangguk. Ia sudah mendengar hal itu dari sesepuh desa. Juga tentang orang-orang Perhutani yang tahu akan keberadaan desanya. Kabarnya, mereka sangat menghormati keberadaan warga, meski tak semua dari mereka percaya.
Langkah Surya juga sudah berhenti. Wira bersiap kehilangan derap langkah sang ayah. Jantungnya semakin berdebar. Sulit baginya meninggalkan hutan di belakang. Berat baginya meninggalkan desa. Ia tak pernah mengerti, kenapa manusia bisa hidup begitu jauh dari hutan. Jauh dari kesejukan, keteduhan, dan suara satwa di dalamnya.
Suara langkah ayah sudah punah. Sekarang tinggal langkah kakinya. Wira menoleh, melihat tiga orang pengantarnya. Ayahnya menunduk, Surya pun demikian. Hanya Si Pamong Praja yang bertatap muka dari gundukan jalan setapak. Tatapan kewajiban, memastikan Wira melaksanakan pengasingan dengan wujud yang semestinya.
Wira berpaling, melangkah lagi menuju ujung hutan. Jalannya mulai membungkuk. Wujudnya mulai berganti. Ia tak mengira akan mengalaminya dua kali. Menjelma seperti pertama kali ia masuk ke dalam hutan. Ketika itu, ia memilih ikut bersama rombongan yang setia pada Kakang Prabu. Ia berharap kabar kesalahannya tidak sampai ke telinga rajanya itu, karena ia sangat malu.

=======

Cerpen ini menjadi juara III Kategori-C Lomba Menulis cerpen Green Pen Award 2016 yang diselenggarakan oleh Perum Perhutani.

Minggu, 20 Maret 2016

Pemikiran: DEMOKRASI, AGAMA, DAN PILKADA



            Sebagaian orang mungkin merasa aneh kenapa seorang-saya menganggap demokrasi tidak cocok dengan agama. Saya bilang agama, bukan agama saya saja. Bahkan saya berani berpendapat bahwa demokrasi itu memang dikonsep untuk melawan agama.
            Bagi saya, agama adalah aturan tertua. Apa yang disebut kearifan lokal, norma, dan adat istiadat pun, sumbernya adalah agama. Logika ini sangat sederhana. Berhubung agama itu jalan  yang dibuat oleh Tuhan, lalu apakah ada yang lebih awal dari Tuhan?
            Makna paling mendasar dari demokrasi adalah aturan yang sesuai kehendak mayoritas. Segala atribut-atribut lain yang disematkan padanya tak lain hanyalah hiasan dan harapan akan sebuah keadaan. Contoh-contoh atribut lain itu diantaranya: kesamaan hak, kebebasan berpendapat, transparansi, atau trias-politica. Padahal, dengan makna demokrasi yang mendasar dan sederhana tadi, kalau mayoritas berkehendak bahwa golongan tertentu haknya lebih, ya itu tetap demokrasi. Atau kalau mayoritas berkehendak tidak ada kebebasan berpendapat, ya itu juga demokrasi, begitu seterusnya. Pokoknya tidak ada ciri lain selain aturan sesuai kehendak mayoritas. Sebanyak apapun telur, ayam goreng, perkedel, dan brokoli, Indomie tetap hanya yang ada di dalam bungkusnya saja. Lainnya, tambahan. Tak bisa kita katakan bahwa ayam goreng atau brokoli adalah Indomie. Bagi yang tidak suka Indomie, silakan ganti dengan Supermi, Sarimi, Mie Sedap, atau Mie Sukses isi dua.
            Nah, dalam titik inilah demokrasi terlihat bukan hanya tidak cocok dengan agama, tapi juga bermusuhan.  Jika agama bicara tentang ‘harus’, demokrasi bicara tentang ‘tergantung’. Jika agama bicara tentang hal-hal tertentu saja manusia boleh menentukan, maka demokrasi menganggap bisa semuanya. Memang canggung untuk langsung mengatakan demokrasi sebuah keburukan, melainkah sesuatau yang berlebihan. Sesuatu yang berlebihan pasti buruk. Nah, tak lagi canggung.
Demokrasi memang sebuah konsep pembablasan akan otoritas tunggal. Maka, tak ayal, beberapa orang menganggp bahwa demokrasi adalah berhala. Buat saya, itu tidak lebay. Setidaknya sebuah kisah di bawah ini bisa menjadi contoh bahwa kehendak mayoritas  bisa menjadi jalan menuju pemberhalaan, sekalipun di dalam masyarakat yang punya tradisi mengesakan Tuhan.

            Atas perintah Allah, Musa menuju bukit Thur untuk menerima mukjizat Taurat. Musa berencana pergi selama 10 malam, tapi kemudian digenapkan selama 40 malam. Sebelum berangkat, Nabi Musa pun menitipkan Bani Israil pada adiknya, Nabi Harun. "Gantikanlah aku dalam memimpin kaumku. Perbaikilah dan janganlah kamu mengikuti jalan orang-orang yang membuat kerusakan," ujar Musa.

Harun pun kemudian memimpin Bani Israil. Namun, rupanya Samiri tak peduli dengan nasihat Harun. Ia pun mengajak Bani Israil untuk mengumpulkan segala perhiasan emas yang selama ini dibawa. Emas tersebut dikumpulkan untuk kemudian dilebur di atas api.  Setelah emas meleleh, Samiri melemparkan tanah jejak kuda Jibril yang ia simpan selama perjalanan dari Mesir. "Jadilah anak sapi!" teriak Samiri girang tanpa merasa berdosa. Lupa sudah Samiri akan peringatan Musa agar tak menyembah berhala, tapi selalu mengesakan Allah.

Dengan kebodohan Bani Israil, mereka pun percaya dan mengikuti ajakan buruk Samiri. Alhasil, mereka pun menyembah patung anak sapi tersebut selama Musa pergi. Sementara, Harun tak sanggup melawan Bani Israil sendirian.         (dari Republika online)

            Jangankan ulama atau pemuka agama, rasul yang masih hidup saja bisa ditentang oleh mayoritas yang menggunakan konsep ini. Bayangkan! Dosa terberat, menyekutukan Tuhan saja bisa lolos, apalagi maksiat lainnya. Karena yang penting itu kehendak mayoritas, tak ada urusan sekalipun dengan utusan Tuhan. Jadi, tak lebay kan, jika demokrasi dianggap berhala?
            Demokrasi memang disepakati untuk menentang otoritas tunggal. Baik Tuhan, apalagi sekadar rasul, terlebih raja dan ratu. Apa yang wajib bisa jadi pilihan, bahkan malah jadi terlarang, selama mayoritas menghendaki demikian. Sebaliknya, sesuatu yang terlarang bisa jadi boleh, bahkan wajib asal mayoritas menghendaki. Tak heran, di sebuah negara dengan jumlah penduduk muslim terbanyak, dengan banyaknya ahli agama, majelis ilmu, sampai majelis ulama, mengamalkan maksiat yang dosanya bekali-kali lipat dari dosa menzinah ibu kandung, menjadi hal biasa. Gimana kurang musuhan dengan agama coba?
            Tak heran, di negara-negara yang berhasil demokrasinya, ya pasti berhasil sekuler dan liberalnya. Judi jadi industri. Zinah jadi industri. Mabok jadi industri. Riba jadi industri. Kalau belum begini, ya belum berhasil demokrasinya. Negara-negara yang jajal fusion antara agama dan demokrasi akan selalu jadi negara bimbang, labil, dan ngambang kayak ‘itu’ di empang. Terombang-ambilng gelombang air karena tiupan angin. Jadilah banyak aturan banci, yang memang setengah-agama-setengah-liberal, setengah-taat-setengah-maksiat. Mau liberal terganjal agama, mau taat terganjal selera massa.
            Untungnya, itu bukan sebuah arti kesuksesan. Bagi saya, sukses itu kalau kita berhasil cukup tanpa menentang falsafah hidup tertinggi. Jadi, negara dengan industri maksiat, bisa jadi kaya, megah, berlimpah, tapi dia tidak sukses. Kekayaannya pasti tidak menjadi berkah baginya dan bagi tetangganya. Tak menjadi rahmat bagi seluruh alam. Terbayang nggak, timpangnya Amerika dengan Afrika?

              Tapi demokrasi banyak menghasilkan aturan yang baik, loh.

            Kebaikan itu sudah default settingnya agama untuk manusia. Tuhan selalu membolehkan, bahkan mewajibkan kebaikan. Demokrasi itu versi telat-klaimnya kebaikan hidup.

            Nah, baru dah saya sambung-sambungin ke hal aktual kekinian yang sedang hangat-hangatnya, bahkan panas-panasnya, karena berhasil membuaskan banyak orang. Tentang bagaimana perhelatan demokrasi dalam memilih kepala daerah yang menjadi ibu kota Indonesia gitu ganti. Bagimana dalil agama dijadikan pertimbangan untuk tidak memilih salah satu calon, karena calonnya: Kafir. Calonnya tidak seagama. Dalil ini wajar saja jika ada dalam agama lain.
            Masalahnya, dalil ini bisa dianggap berlebihan dari sudut pandang demokrasi aktual. Muslim vs Kafir. Orang muslim haram memiih orang kafir! Itu benar. Tapi kalau mayoritas orang muslimnya memilih demokrasi, yang salah satu hasilnya, dengan kehendak mayoritas, membolehkan orang kafir jadi pemimpin, ya itu resiko. Kalau kamu memilih iPhone, ya terima lambang apelnya yang sudah terbelah, jangan minta diservice supaya apelnya utuh.

            “Bang, ada iphone 11S yang apelnya masih utuh nggak?”
            Abang-abang iBox langsung resign.

                Ya, tapi kan memilih orang kafir itu haram! Dosa!
           Yah, dia sekarang bicara dosa. Memang demokrasi dikonsep untuk apa? Untuk berlomba-lomba mengumpulkan pahala? Untuk mengajak pada kebaikan dan mencegah keburukan? Baca lagi dari awal mendingan.

            Bagi saya, yang patut disyukuri dalam hidup ini, terkait keberadaan konsep demokrasi dalam hidup ini, adalah bahwa, demokrasi bukan syarat  bernegara. Lebih bersyukur lagi, demokrasi bukanlah syarat menjadi manusia. Sangat bersyukur lagi demokrasi bukan syarat untku bisa memberi dan menerima cinta. Paling besyukur lagi, demokrasi bukan syarat untuk bisa masuk surga, yang semoga kita berada di sana bersama-sama nantinya.

Pemikiran: Aher, Berita, dan Pilkada Jakarta + Syair Lagu Iwan Fals


Wah, apa hubungannya nih? 
Beberapa hari terakhir saya berulang baca berita tentang banjir di Bandung dalam tautan di bawah ini:
http://news.okezone.com/read/2016/03/15/525/1336279/banjir-bandung-aher-semoga-tuhan-enggak-turunkan-hujan-sekaligus
Berikut isi beritanya:
BOGOR - Menghadapi musibah banjir akibat meluapnya aliran Sungai Citarum, Gubernur Jawa Barat, Ahmad Heriawan menyerahkan hal tersebut kepada Tuhan YME dan berharap hujan yang menguyur agar cepat mereda dan banjir segera surut.
"Ya kalo hujannya sudah engga ada, udah panas lagi ya pasti banjirnya otomatis reda kan," katanya, saat menghadiri HUT Satpol PP ke 66 dan HUT Linmas ke 54 di Lapangan Tegar Beriman, Kabupaten Bogor, Selasa (15/3/2016).
Pria yang akrab dipanggil Aher tersebut hanya berharap dan mengajak warga Bandung khususnya yang dilanda musibah banjir untuk berdoa agar hujan yang turun mereda dan banjir segera surut.
"Kan sekarang masih musim hujan, mudah-mudahan kita berdoa kepada Tuhan ke depannya hujan yang turun tidak sekaligus. Kalau hujannya sedikit juga banjir kecil tidak sebesar ini," ungkapnya.
Sebelumnya, lebih dari 10 ribu rumah di empat kecamatan yakni di Kecamatan Dayeuhkolot, Bojongsoang, Bale Endah, dan Katapang. Kabupaten Bandung, Jawa Barat terendam luapan Sungai Citarum sejak Sabtu 12 Maret 2016.
Selain itu, luapan Sungai Citarum juga turut menggenangi ruas jalan utama penghubung Kota Bandung dengan Kabupaten Bandung.

Berita itu tentang komentar Aher terkait banjir yang melanda daerah yang dipimpinnya. Dan berita itu menimbulkan beberapa tanggapan, diantaranya seperti tergambar dalam tautan gambar.  Komentar yang bawa-bawa sempaknya nggak usah dibayangin ya. :D





Kenapa sampai ada orang menganggap bahwa apa yan g disampaikan Aher itu salah, atau tidak baik, atau tidak keren? Hingga timbul komentar neagtif sampai satire beserta memenya?
Hal itu karena tidak semua orang sadar akan detail.
Yuk , kita ulas dari poin ke poin hingga menjadi kesatuan yang utuh.
1.    Konteks.
Keterkatian sangat penting agar kita bisa mengetahui pesan secara utuh. Dalam kasus ini, Aher tentu menjawab sebuah pertanyaan. Dia bukan ujug-ujug ngomong seperti yang menjadi kutipan langsung dalam berita di atas.
Nah, dari jawaban Aher, apa kiranya pertanyaan dari wartawannya? Kita tidak bisa menemukan hal itu karena memang tidak tertulis. Berita itu hanya menunjukan bentuk umum dalam paragrap pertama bahwa Aher,  ‘Menghadapi musibah banjir...’.
Bentuk umumnya adalah ‘Menghadapi’. Tanpa rincian dalam tahap apa Aher menghadapi banjir tersebut. Lalu bagimana kita tahu rincian pertanyaan wartawan kepada Aher, dalam fase menghadapi banjir yang dimaksud? Itulah mengapa kita memerlukan,
2.    Logika Waktu.
Sudah saya sampaikan bahwa tidak semua orang sadar akan detail. Padahal, karena detail lah hidup kita jadi indah dan penuh makna. :D
Jika kita melihat paragraph kelima, berita tersebut diawali dengan kata ‘Sebelumnya’. Kemudian menceritakan banyaknya rumah yang terendam beserta lokasi-lokasi banjir.
Dari hal itu kita bisa mengetahui bahwa interaksi wartawan dengan Aher adalah ketika banjir sudah terjadi. Dengan informasi itu, maka, pemaknaan bahwa Aher menghadapi banjir adalah dalam fase penanggulangan bencana, bukan dalam tahap antisipasi.
Kita tidak perlu jadi sarjana teknik sipil, ahli fisika, atau anggota tim  SAR, untuk tahu bahwa dalam fase penanggulangan banjir, agar air surut, adalah sangat wajar adanya harapan agar hujan tidak turun, tidak deras, atau tidak lama.
Mana ada korban banjir yang ingin cepat surut tapi berharap hujan turun. Silakan cari. (ter-Tere Liye). :)
            Ketika konteksnya adalah hujan, maka Aher sudah benar dengan tidak mengaitkannya dengan manusia atau peralatan, melainkan Tuhan. Entah dalam sudut pandang apa komentar seperti ini dianggap salah, tidak baik, atau tidak keren?
            Lalu kenapa ada orang yang sampai menganggap itu sebuah hal yang ‘gila’ atau ‘memalukan’? Selain karena abai terhadap detail tadi, juga karena bahwa setiap berita memilki angle. Wartawan, Editor, Pimred, sampai pemilki perusahaan media bisa menentukan apa yang perlu disampaikan atau tidak. Semua komunikator punya efek yang ingin dicapai bukan?
            Selain media yang punya tujuan dari semua beritanya, penerima berita juga tentu memiliki tujuan dalam meneruskan berita (dan itulah kenapa saya menyertakan Pilkada Jakarta pada judul tulisan ini, hahahay) . Sangat wajar jika dari berita ini, maka, terbagilah umat kedalam beberapa golongan, setidaknya:
Orang yang membenci partai pengusung Aher (saya sebut inisialnya saja, yaitu, PKS). Adalah sangat wajar jika berita ini menjadi peluru untuk menunjukan betapa payahnya kader mereka. Dibanding, dibanding, dibanding siapa ayo? :D
Tim sukses dan pemilih calon lain ketika Pilgub Jawa Barat, yang belum move on. Sangat cocok untuk menjadikannya sebagai bahan sindiran, betapa mereka yang telah memilih Aher, telah salah pilih. 
Juga para pendukung Aher, baik partai atau perseorangan, bisa juga menjadikan berita itu sebagai info yang menunjukan bahwa pilihan mereka tepat, karena gubernur begitu tawakal dan selalu ingat Tuhan.
Dan yang tak ketinggalan adalah mereka sedang giat-giatnya menunjukan dukungan terhadap bakal calon gubernur DKI Jakarta selanjutnya, yang bernama (ah, nggak usah disebut, namanya nggak ada di judul sih), dan menjadikan tafsir berita tadi sebagai perbandingan.
Dan tentu bisa juga gabungan dari sosok-sosok di atas.
Ah, Gung, elu sok tau, bawa-bawa konteks logika waktu segala. Teori!
Eh, saya tuh bukan modal tampang doang, tapi menyertakan tautan video juga. Ditonton ya. Di situ Aher juga berkomentar tentang usaha menghadapi banjir. Memang banjir sudah terjadi. Tapi, dia bicara dalam konteks antisipasi.  Dan dalam fase itu, dia tidak berharap Tuhan tidak menurunkan hujan sekaligus kok.
Hikmah dalam bersosial pada kasus berita ini bagi saya adalah bawah kita bisa saja menyamarkan kesukaan atau kebencian, tapi keadilan atau kezaliman selalu menggeliat hingga tampak kepermukaan.
Ada yang ingat syair Iwan Fals yang bertanya ‘Apakah selamanya politik itu kejam? Apakah selamanya dia datang ‘tuk menghantam?’ Ataukah memang itu yang sudah digariskan? Menjilat, menghasut, menindas, memperkosa hak-hak sewajarnya’?. Tadinya saya pikir itu hanya tentang politkus yang terlbat langsung dalam politik. Ternyata orang-orang yang sekadar mendukung pun bisa sama buasnya.

https://www.facebook.com/agung.satriawan.16/videos/10205968400469604/


Rabu, 17 Februari 2016

Pemikiran: ISU LGBT

Saya rasa tidak cocok paduan legalisai dengan LGBT. Dua kata itu kok kalau digabungin jadi bikin nggak sreg, kecuali huruf T (transgender).
Karena LGB itu kan orientasi seksual, sedangkan transgender bisa dikatakan sebuah proses selain juga keadaan (yang telah berubah).
Jadi, kata legalisasi terasa kurang cocok berdampingan dengan LGB. Karena, apa yang mau dilegalisasi dari sebuah orientasi?
Yang bisa dipermasalahkan itu adalah perilaku seksual. Ini relevan dengan kata legal/ilegal.
Jadi, penolakan LGB harusnya menekankan pada prilaku seksual dan atau 'pernikahan'.
Dalam Islam, bukan orientasi yang dihukumi, tapi perilaku.
Saya pribadi memandang orientasi seksual seperti banyak hal lain. Makanan contohnya. Ada daging ayam, sapi, babi, kodok, bayam, wortel. Semua ciptaan Allah. Tapi tidak semua diridhai Allah untuk dimakan, meski bisa dimakan.
Juga minuman. Ada susu, jus jeruk, mangga, apel, miras, amer, aput, nutrisari, orson. Semua bisa diminum, tapi tak semua diridhai sebagai minuman.
Begitu juga orientasi seksual. Ada hetero, homo, dan bi. Perilaku sekusal juga banyak. Ada nikah, zinah, lacur, incest, merkosa, selfservice, pedofil, sampai sama binatang. Tidak semua cara yang diridhaiNya.
Saya tak berkapasitas untuk menyatakan apakah orientasi seksual sejenis sesuatu yang dari sananya atau terbentuk lingkungan. Yang pasti itu ujian, yang pasti itu bisa dirubah, karena banyak contohnya. Kalau ada pertanyaan Kenapa saya terlahir homo? Karena si saya mampu mengatasi ujian kehomoan. Ujian tak lebih dari kadar kemampuan, bukan?
Ujian memang banyak macam. Ada yang diuji lewat orientasi seksual, ada yang lewat keterbatasan fisik, ada yang diuji dengan kemiskinan, ada juga yang lewat kekayaan. Ada ujian lewat kecantikan, ketampanan, (dan sepertinya saya diuji dalam hal ini), dan lain sebagainya. Macam-macam dah ya.

Tapi memang manusia banyak macamnya. Ada yang simplisiti, asal teman senang, yang penting gue nggak, ada juga yang menahan diri untuk selalu membenarkan. Yang pasti, teman baik tak ingin temannya celaka.

Jumat, 06 November 2015

Cerkil: Setia

Si Germo mengajak Joni ke lantai dua. Menunjukan jajaran ruang kaca yang dipenuhi wanita. Tak kurang, Si Germo perlihatkan katalog wanita sambil bertanya, "Abang mau yang kayak gimana?"
"Aku mencari yang setia." jawab Joni.

Jumat, 30 Oktober 2015

Diary: Bukan Basa-Basi

Judulnya mirip tagline produk racun zaman dulu ya. Bukan basa-basi.
Ini memang tentang apa yang (tadinya) saya anggap basa-basi. Kejadiannya Kamis kemarin, selesai istirahat makan dan hendak kembali masuk kantor, saya berpapasan dengan OB di parkiran. Saya pun berbasa-basi dengan bertanya, "Kemana, Ko?"
"Beli lem." jawabnya.. Pertanyaan kemana memang seringkali dijawab dengan tujuan, bukan tempat. Sudah biasa itu. Saya berusaha menepis prasangka buruk kalau selama ini Eko suka mabok lem. Tapi masalahnya bukan dua hal itu, melainkan tentang basa-basi bertanya "kemana?" yang ternyata bukan basa-basi. Saat itulah saya membuktikannya. Karena setelah saya masuk ke lobby hendak naik tangga ke lantai dua, seseorang admin bertanya kepada saya, "Mas, lihat Eko, nggak?"
"Baru aja keluar, Mbak. Beli lem katanya."
Rasanya nikmat sekali bisa menjawab sesuatu yang menjadi pertanyaan seseorang. Bentuk kecil manfaat diri untuk orang lain. Bukankah sebaik-baiknya manusia adalah yang banyak manfaatnya bagi orang lain?  Dan saya bisa menjawab itu karena saya bertanya sebelumnya. Kalau sebelumnya saya tidak berbasa-basi pada Eko, cuma senyum, atau malah cuek, tentu saya tak bisa memberi informasi apa-apa pada Mbak Admin. Padahal, kalau seseorang mencari seseorang, tentu ada perlu.
Jadi, ternyata, bertanya kemana itu bukan basa-basi. Selain bentuk kehangatan, itu juga menjadi informasi yang berguna.

Kalau lagi lewat naik motor kadang ketemu teman yang menyapa lalu bertanya.
"Gung...!"
"Woy!"
"Kemana?"
"Asnibasbjgnlkasd..ke depan..."
Padahal pertanyaan biasa, tapi kenapa suka bikin kagok ya?

Kamis, 29 Oktober 2015

Tips: Diwawancara

Kali ini saya akan berbagi tips untuk Anda yang sekiranya berkesempatan diwawancara oleh wartawan televisi ketika terjadi liputan. Entah pejabat, pengusaha, pedagang, mahasiswa, pelajar, polisi, sampai tersangka pencuri kolor, tak lepas dari kesempatan wawancara, ditanya, dimintai keterangan, dimintai pendapat, atau dimitai kesaksian.
Mungkin terbayang bahwa wawancara itu hal mudah, tinggal bicara apa adanya, adanya apa, sesuai dengan fakta, sesuai dengan yang dirasa. Sayanganya masih banyak yang abai terhadap konteks dari sebuah wawancara televisi, yaitu proses tayang.
Bagi yang mulai penasaran dengan maksud saya, yuk kita simak tips menjadi narasumber berikut ini:

1. Tak perlu pembukaan. Durasi tayang sangat berharga untuk televisi, jadi tiap detik sangat berarti. Anda harus singkat, jelas, dan padat. Saya pernah ngedit bagian wawancara yang narasumbernya salam dulu, terus ucapan terimakasih, baru jawab. Bukan meremehkan ramah-tamah, tapi ini bukan pidato yang biasanya waktu dan tempat dipersilakan oleh MC khusus untuk Anda.
2. Jangan nyerocos. Ini bukan tentang kecepatan bicara, atau emosi yang meledak-ledak ketika bicara. Nyerocos dalam hal ini adalah tidak mengakhiri kalimat dengan intonasi yang tepat atau bicara satu kalimat namun terburu-buru untuk menyambungnya dengan kalimat lain. Kalau versi tulisan, kalimat Anda seharusnya pakai titik, tapi malah dipaksa pakai koma, atau bahkan tanpa tanda baca. Atau sebenarnya sudah berhenti karena titik, tapi terlalu cepat menyambungnya, jadi titiknya terdengar percuma. Nah, kalau dikaitkan denga proses tayang, ini akan menyulitkan editor dalam memotong bagian ternyambung dengan naskah. Sebenarnya editor sudah tau kalimat mana yang mesti diambil, tapi karena Anda mengakhirinya dengan gantung, jadi kurang sedap didengar.
Anda mungkin pernah menonton berita yang di bagian wawancaranya narasumbernya seperti masih akan bicara tapi gambar dan suaranya sudah hilang. Mulutnya sudan terlihat mangap, tapi gambar langsung berganti. Nah, ini yang saya maksud dengan kurang sedap.
3. Pengertian akan kebisingan. Jika Anda mendengar suara berisik, seperti motor dengan knalpot racing lewat, atau suara orang lain yang cuku keras, Anda bisa mengulang dari bagian tertentu, atau Anda ajak reporter untuk mencari tempat sepi. Sebenarnya reporter harus lebih aktif, tapi kadang pengertian narasumber juga sangat dibutuhkan.
4. Anggap reporter adalah pemirsa. Jadi jangan menganggap reporter itu kurang kerjaan, karena menanyakan hal yang ia lihat dan dengar sendiri di TKP. Reporter tetap akan bertanya meski sudah tahu, karena materi rekam dia adalah untuk permirsa, bukan dirinya. Jadi, hindar berkata "Seperti Anda lihat sendiri...." atau "Kan tadi kamu lihat....", atau "Seperti yang sudah saya sampaikan dalam pidato tadi....." atau "Lihat sendiri kan...."
5. Percaya Diri. Saya beberapa kali dibuat bingung, dengan tingkah orang yang diminta wawancara. Ada saja yang menghindar. Ada yang menunjuk orang lain. Biasanya sambil mesem-mesem, senyum malu-malu macan. Sampai ada yang seperti berusaha lari dari sorotan kamera, padahal bukan liputan kriminal, esek-esek, judi, atau narkoba. Cuma meminta opini. Malah sampai ada ibu-ibu yang pas sudah direkam, dia malah bilang "Nih, dia aja nih, saya mah jelek." Bhehehe. Jelek tidaknya mah sudah bisa dilihat, tak perlu klarifikasi. Ini kah tentang berita, bukan muka. Kalau memang benar-benar menganggap muka sendiri adala aib, titip pesan saja ke reporter, nanti mukanya tolong diblur. Dengan senang hati kami sebagai editor akan melakukannya. Jadi, biasakan santai saja di depan kamera.

Demikian tips diwawancara jika Anda menjadi narasumber. Kalau ada tambahan atau kurangan, silakan.